“Bertahun-tahun tinggal di Bondowoso, belum pernah ke Ijen, sungguh terlalu”
Begitu kata Pak suami beberapa waktu lalu. Kalau diingat-ingat, beliau ini yang sangat bersemangat untuk menuju Ijen. Dan sebenarnya rencana mau naik ke Ijen seharusnya kami lakukan bulan Oktober lalu. Namun karena banyaknya kesibukan dan berbagai hal lainnya, hingga akhir tahun 2015 kami tak juga ke sana.
Salah satu kendalanya adalah, anak-anak yang tampaknya belum siap. Kakak seringkali ogah-ogahan saat kami ajak jogging minggu pagi di Alun-alun, untuk persiapan fisiknya. Terakhir, dia malah bilang enggak mau ikut, males jalan katanya. Buat saya, apalah artinya pergi tanpa salah satu dari kami. Kurang lengkap rasanya. Akhirnya dengan persiapan yang minim, rencana yang boleh dibilang dadakan, jadi juga kami mengawali tahun 2016 di Kawah Ijen. Salah satu destinasi kebanggan Bondowoso dan Banyuwangi yang tak hanya banyak dikunjungi wisatawan domestik, tetapi juga menjadi tujuan wisatawan manca negara.
Kawasan kawah ijen ini, terletak di perbatasan dua Kabupaten, yakni Bondowoso dan Banyuwangi. Berketinggian 2.443 m dpl, kawah ini menjadi tujuan wisata yang menarik karena beberapa hal. Keindahan kawahnya yang berair biru, fenomena blue fire yang langka dan sunrisenya yang cantik.
Baca juga:
Melongok warna-warni Jodipan Dengan Paket Wisata Hemat Biaya
Daftar Isi
Sedikit Kesiangan
Sebenarnya, kami berangkat kesiangan. Hampir pukul 06.00 pagi baru berangkat dari rumah, sementara perjalanan dari rumah kami di Bondowoso, hingga paltuding (start naik kawah Ijen) kira-kira dua jam perjalanan. Jadi sudah pasti kami tak akan menemui sunrise, apalagi melihat blue fire. Dalam pikiran kami, gak papa lah. Yang penting ke Ijen dulu. Lain kali toh bisa balik lagi. Jika ingin melihat sunrise, semestinya naik pada dini hari. Begitu pula jika ingin menyaksikan bluefire, fenomena langka yang kalau tidak salah hanya ada di dua tempat di dunia.
Di perjalanan, kami berhenti sebentar di Pasar Sukosari. Saya membeli beberapa nasi bungkus untuk sarapan anak-anak dan untuk makan siang kami. Mendadaknya perjalanan ini, membuat saya tak sempat mempersiapkan perbekalan. Saya hanya sempat bawa sekilo salak dan sekilo jeruk, yang kami makan sebagai sarapan buah selama perjalanan dari Bondowoso ke Paltuding. Beberapa botol air juga kami siapkan, agar tak dehidrasi sepanjang perjalanan nanti.
Rute yang kami tempuh adalah Bondowoso-Tapen-Garduatak-Sukosari-Sempol-Paltuding. Sejak berbelok di Garduatak, pemandangan indah sudah ada di kanan kiri. Jadi, jangan lupa siapkan kamera pada posisi siap membidik.
Sampai di pos pertama, memasuki kawasan Sempol, kami berhenti. Di sini, semua pengunjung wajib mengisi buku tamu. Di pos ini juga tersedia café dan toilet umum. Jika Anda datang pada waktu-waktu ramai, sebaiknya pergunakan toilet di sini. Karena di paltuding nanti kemungkinan besar Anda akan harus antre sangat lama jika perlu ke toilet.
Di pos pertama ini, anak-anak sudah minta jatah sarapan nasi bungkus. Jadi saya biarkan mereka makan nasi, karena sebelumnya sudah cukup banyak makan buah. Sementara saya dan suami yakin saja, bahwa hanya dengan sarapan buah, tetap akan cukup energi buat naik sampai ke puncak.
Antre Panjang Di Toilet Paltuding
Mengikuti ritme buang, maka meski di perjalanan saya masih mengkonsumsi banyak air. Ditambah udara dingin, jadilah hasrat ke toilet kembali muncul, begitu sampai paltuding. Padahal di pos pertama tadi juga sudah ke toilet. Jadi, beres urusan tiket, kami langsung cari toilet. Oya, tiket per pengunjung hanya Rp 7.500 saja untuk wisatawan domestik. Murceeee…. Dan ternyata pemirsaaaa, setelah sampai di toilet, …. Antre panjaaaaang.
Di sini hanya ada 2 toilet perempuan yang bisa digunakan. Entah di bagian toilet laki-laki ada berapa. Sebenarnya ada 4 toilet perempuan. Tapi entah mengapa, dua toilet terkunci. Di sini terlihat sekali tipikal khas toilet di tempat umum di Indonesia. Lantai tidak begitu bersih, dan berbau. Pengunjung buang sampah sembarangan. Tempat sampah yang sudah penuh di dalam kamar mandi tetap dipaksa diisi sampah. Padahal di bagian luar dekat toilet juga ada tempat sampah yang besar dan memadai.
Kami menghabiskankan waktu agak lama di sini. Untuk antre hingga beres urusan toilet ini saja sudah sekitar satu jam mungkin lebih. Kami baru bisa mulai naik jam sepuluhan. Waaahh… sudah siang.
Pendakian Ijen: Bagian Awal Yang Berat
Ada banyak versi tentang berapa jauh, berapa sulit dan berapa lama Pendakian Ijen. Berbagai versi ini, terus terang juga bikin bingung. Tulisan terakhir yang saya baca, waktu tempuh rata-rata adalah 1,5 jam. Kalau jaraknya, menurut info yang ada di papan pengumuman pos ini, adalah 3 km. Okelah, mari kita naik saja!
Karena kami naik bersama dua anak-anak, jadi nyantai sajalah. Sekuatnya mereka. Apalagi, ini adalah pendakian pertama bagi kedua anak-anak kami. Sepertiga bagian pertama, bagi saya terasa berat. Kak Asa terus menerus mengeluh. Sementara beban di ransel ternyata terasa cukup berat juga. Dasar pendaki amatir! Ha…ha…
Sebenarnya, di bagian awal ini, medannya tak terlalu berat. Cukup landai saja. Tapi mungkin, membawa dua anak ini membuat kami harus memiliki energi extra. Kak Asa yang dasarnya tidak sabaran, terus menerus bertanya dan mengeluh. Saya menghibur diri dengan mengamati orang-orang di dekat kami. Memang saat itu, pengunjung yang naik sangat ramai. Kata suami, “Baru kali ini aku naik gunung, ramai begini” ha..ha…. ini kawah femes loh Pak! Kayak belom tahu saja.
Ada beberapa Mbak-mbak berjalan timik-timik dengan sepatu flat cantik. Aduh… saya nggak bayangin bagaimana rasanya. Ada ibu-ibu, nyaris nangis dan terus mengeluh, betapa capainya dia. Mekapnya sudah belepotan. Eyeliner biru keunguan nyaris berlelehan.
Yang lucu, ada percakapan Ibu dan anaknya yang masih kecil yang bikin saya ketawa spontan. Mereka bicara dalam bahasa madura:
Ibu: Duh… mak jeu parana yeeee (aduh kok jauh banget ya …)
Anak: Ye nyamana bei la gunong, Bok. (Yah, namanya juga gunung, Bu)
Ha..ha.. maafkan saya Bu. Anakmu lucu dan spontan banget sih, nggak tahan saya untuk tidak tertawa saat itu juga, di tempat itu juga. Yang bikin saya tertawa juga adalah, karena mereka bicara dalam bahasa madura dengan dialek khas Situbondo, sedikit diseret. Ha..ha.. saya jadi ingat masa kecil hingga remaja sewaktu di situbondo.
Hal yang menurut saya aneh, di tempat ini saya temukan tempat sampah. Beberapa puluh meter jarak antar tempat sampah. Aneh, karena ini gunung loh. Dan saya lihat banyak (mungkin) relawan hilir mudik mengosongkan tempat-tempat sampah tersebut dan membawanya turun.Mereka sekaligus memungut sampah-sampah yang tak dibuang dengan benar. Salut buat mereka.
Please deh! Rasanya harusnya ya, pengunjung itu bertanggung jawab terhadap sampah-sampahnya sendiri. Saya appreciate dengan effort pengelola tempat ini untuk menjaga kebersihan. Sampai sepanjang jalur pendakian tersedia tempat sampah. Tapi sekali lagi, buat saya ini janggal. Entahlah. Mungkin saya kuper. Apa memang seperti itu sekarang trend di gunung?
Menyerah Atau Terus?
Bagian tengah adalah pertaruhan. Saya hampir menyerah saja. Inilah risikonya naik gunung minim persiapan. Apalagi, akhir-akhir ini saya jarang workout, memang. *mengakubersalah. Saya benar-benar ingin menyerah. Tapi gengsi juga sama dua pendaki cilik kami ini.
Bagian tengah ini menurut saya memang lebih nanjak. Ngos-ngosan deh melaluinya. Pak suami yang baik hati menawarkan membawakan ransel saya. Jadi beliau berjalan sambil menggandeng Kak Asa, dan membawa dua ransel. Hiks… maafkan daku papa tom…
Untunglah kami berjumpa pengunjung lain yang dalam perjalanan turun. “semangat! Sebentar lagi sampai!” kata mereka. Semangat kembali terpompa. Berbeda dengan Asa yang sangat cerewet bertanya, kapan sampai? Berapa lama lagi? Raniah justru sangat anteng. Dia berjalan dalam diam, tersenyum-senyum saja, dan jarang sekali meminta waktu berhenti dan beristirahat. Paling-paling beberapa kali dia bertanya, “kenapa sih, Bun orang-orang buang sampah sembarangan disini”. Dan ini saya manfaatkan untuk menjelaskan bagaimana seharusnya kita bertingkah laku di sini. Kalau ngaku mencintai gunung, dan ingin bahkan antusias menikmati keindahannya, ya harus juga turut menjaga. Begitchuuu dek.
Oh, ya. Satu penawar lelah di sini adalah, karena pas kabutnya tersingkap. Hilang kabut atmosfer begitu jernih dan terpampanglah pemandangan yang luar biasa. Bagian yang sulit ini akhirnya terlewati juga, saat kami sampai di Pos Bunder. Di sini tersedia warung tempat menjual makanan dan minuman. Tapi, kami masih punya bekal.
Kami berhenti, membongkar bekal kami. Tadinya, saya masih mau meneruskan sarbu. Tapi panggilan alarm dari perut rasanya sudah tak bisa dikompromi. Lirik jam, ternyata sudah setengah dua belas lebih! Pantas saja, jam sarbu hampir berakhir, apalagi udara dingin. Jadi, saya putuskan ikut makan nasi bungkus bersama suami dan anak-anak. Tapi saya makan sedikit saja. Sebab tak ingin perut terasa berat. Kami belum sampai puncak soalnya. He..he.. anak-anak makan lahap sekali, padahal menunya sangat sederhana. Pasti mereka lapar berat.
Usai menghabiskan 2 bungkus nasi untuk berempat, kami foto-foto di Pondok Bunder. Sayang sekali, bangunan yang menarik ini tak terawat. Di sana-sini tampak rusak dan kotor. Dan juga, sudah tidak digunakan untuk tempat beristirahat.
Menuju Kawah Ijen
Usai makan dan beristirahat sejenak meluruskan kaki, rasanya ada energi baru untuk berjalan. Sayapun kembali membawa sendiri ransel saya yang bebannya sudah jauh berkurang karena sebagaian bekal sudah masuk perut. Rasanya medannyapun tak se nanjak bagian sebelumnya. Agak santai di sini. Apalagi Kak Asa juga terlihat bersemangat. Ini gegara cerita seorang pengunjung ke Kak Asa, bahwa nanti dia bisa melihat tambang belerang. Wuihh… anak ini semangat poll. Bahkan ketika diajak berhenti sejenak, sekadar untuk minum, dia bilang “nggak usah berhenti saja, biar cepat sampai”.
Kabut kembali turun. Sulit untuk melihat jauh ke depan. Pohon-pohon di jurang kiri/kanan kami kembali tak terlihat tertelan kabut. Mistis….. betapa di saat-saat begini rasanya sangat kecil diri ini, dan terasa sekali ke-Maha-Besaran Tuhan.
Alhamdulillah, di bagian ini anak-anak pada kooperatif. Saya sudah tak punya pikiran lagi untuk menyerah. Pokoknya, jalan sajalah. Feeling saya mengatakan, kawah tak jauh lagi. Apalagi sudah terlihat perbedaan situasi lingkungan. Jenis batuan tampaknya mulai berbeda. Begitu juga dengan vegetasi yang menurut saya ada sedikit perbedaan meski tak mencolok. Udah dekat nih… (bersambung)
Note:
Di postingan mendatang, saya akan ceritakan momen saat kami mencapai kawah dan perjalanan turun, juga akan saya bagi tips dan beberapa info penting seputar pendakian ke Ijen. Jadi mulai info transportasi, penginapan, makan-minum, tempat ibadah dan hal-hal penting lainnya. Jadi stay tuned yaaa…
Baca Lanjutannya di ….
Petualangan Kawah Ijen Bagian 2
Baca tulisan lainnya :
Momblogger, penulis buku, dosen, trainer dan pembicara publik. Tema-tema green, health, pola makan sehat, travelling, teknologi dan pendidikan adalah topik yang diminatinya.
Pelatihan yang sudah dan sedang dilakukan adalah teknik penulisan artikel untuk blog, artikel untuk media massa, penulisan buku dan untuk review produk. Pelatihan lain yang juga diadakan adalah cara melangsing. Semua jenis pelatihan tersebut dikolaborasikan dengan buku.
Informasi lengkap profil bisa dilihat di facebook , instagram saya atau https://www.widyantiyuliandari.com/about-me
sungguh terlaluuuu
terlalu indah dan menantang untuk ditaklukan
pingiiiin
wahhh kayanya bawa anak2 yang udah agak gede asik nih,,
makasih ya infonya mba, lengkap banget…
Iya Mbak. Setidaknya di atas 7 tahun lah. Meski aku lihat banyak juga pengunjung yang bawa balita. Kasihan tapi. capeknyoooo. Thanks kembali sudah mampir Mbak 🙂
mba bisa di kontak kah mau tanya2 saya mau bawa anak2 jg soalnya
Silakan Mbak. Via email atau inboks facebook juga bisa
November lalu, dari Bromo kami rencana lanjut ke Ijen. Tp gak jadi krn anak saya inginnya ke Batu. Jd ini masih hutang jalan. Mudah2an disegerakan ke Ijen juga ^_*
Alamaak…berasa mistis 😀
Anceeennn …. hiyyyyy
Wuiiih, seru perjalanannya. Hebat anak-anaknya Mba.
Itu mba -mba yang pakai sepatu flat, niat banget naik.. Qeqeqe.
Entahlah Mbak. Aku sulit membayangkan 🙂 Ha..ha…
Itu sama aja bertahun tahun tinggal di jakarta, (malah lahir di jakarta) tapi belum pernah ke monas. Ada yang begitu? Banyak.. Hehehe… Memang jaman sekarang lebih milih ke mall dan luar negeri dibanding menjelajah kota sendiri ya makk.. Tapi aku baru tahu ada gunung ijen ini.. Thanks infonya ^.^
Ha..ha…iya juga. Semua tergantung prioritas ya 🙂
kayaknya saya wajib ke sana suatu hari nanti *siapin stamina dulu 😀
seru ya. Itu tenatng sampah, aku jadi treharu juga ya ada orang yg mau bolak-balik menurunkan sampah. Ih, salut
Nah… itulah Bunda. Saya sempat memfoto, salah seorang petugas perempuan. Cuma enggak berani diposting karena belum sempat minta izin.
Seru sekali Mbak, naik ke gunung bersama anak. Toiletnya sedikit po, mengantri begitu ya…akibat cuaca dingin itu y,
Minta saran, baik nya ke ijen bulan apa yaa biar cuaca mendukung? Plus minus bila perjalanan ke ijen musim kemarau atau musim hujan?
terimakasih
kalo mnurut sy sih pas awal kemarau skitar bulan April – juni dan akhir kemarau skitar bln oktober november. Pertengahan kemarau bulan juli – september, sangat dingin. kalau pas puncak musim hujan, resikonya hujan. selain itu, di sebelah timur Ijen ada gunung yg lbih tinggi, yg menutupi matahari terbit, pada bulan2 tertentu. Di bulan yg telah disebutkan itu yg terbaik, menurut saya ya, kak 🙂
Wah kereeen… say belum pernah naik gunung…hiks..
Wah kabut segitu tebalnya ya
hebat nih si kecil bisa di ajak berpetualang ke tempat ini ya mbak…
Persiapan fisiknya berapa lama mak? Aku mau mulai rajin jogging ah..mo siap naik ijen juga..semoga bisa tahun ni insyaallah
Thanks kak
wow….pikniknya keren mbak wid
saya terakhir ke gunung tahun 1989…..hihihi lama banget ya
suka lihat pemandangannya Mba Widya 🙂
terlebih kabutnya 🙂
Apalagi kalau pas di lokasi Mbak. Wihhh… kabutnya bikin merinding.
terima kasih telah datang ke kawah ijen.. cek website kami untuk mendapatkan akomodasi terbaik menikmati keindahan
Petualangan adalah sesuatu yang sangat menyenangkan, setelah direncanakan dengan matang dan baik, lalu mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan untuk berpetualang. Setelah perjalanan yang panjang, tiba saat akhir sebuah petualangan yang luar biasa. Lalu apakah yang akan Petualang lakukan setelah tiba di rumah?
tuh kan asik banget deh mendaki gunung ijen. Pemandangannya anti mainstream deh pokoknya dan kalian gak akan pernah puas kalau ke sini. Aku udah tiga kali ke sini guys,lihat cerita perjalananku di travel blogku ya..
Udah mupeng banget ma ni tempat, dari tahun lalu belum sempat kesini. Moga akhir tahun bisa kesini. Tanks mbak infonya hehe
Itu mabk dateng pas banyak kabut ya ?
Kepingin banget saya ke sana Mba, tapi jauh banget dari Depok ya……….huhuhuhu…….semoga bisa tercapai tahun ini
Travel ke Banyuwangi tidak lengkap jika tidak mampir ke Kawah Ijen. Wisata alam yang cukup membuat adrenalin dan energi terkuras. Jalur tracking yg cukup terjal antara start sampai pos 4 (pos warung). Rasa lelah saat mendaki terbayar lunas ketika tiba di kawah, pemandangan yang luar biasa.
Manfaat sekali tulisannya mb…untuk sy n anak2, yg liburan th ini di paksa ke ijen sama suami (tp suka hehe) thks ya..
Selamat bersenang-senang, ya Mbak.
Rute pendakiannya sekitar 3 km, ya mbak?
Beberapa kali pingin ke Kawah Ijen dari Jember, tp nggak pernah kesampaian.
Ternyata memang perlu latihan jalan sebelum naik ke sana, ya mbak? Hehe.
Sekitar itu, atau bahkan gak nyampe ya. Cuma karena medannya nanjak dan licin serta kami bawa anak-anak, maka waktunya jadi panjang.
Seru sekali punya pengalaman naik gunung bersama sekeluarga.
Artikel mendaki ke Kawah Ijen yang sangat keren sekali!!
Terima kasih dan salam hangat.
Ayo Jelajahi Keindahan Wisata di Jawa Timur dan indonesia bersama Keluarga