[Catatan Emak Kuliah] – Perjalanan akademik saya dari SD hingga kini menjalani Magister, lumayan turun naik, bahkan bagai roller coaster. Ada jatuh…. Lalu bangkit lagi. Ada pesimis, lalu kembali melihat titik terang dan menjadi optimis kembali. Ada naik, ada turun. Kadang tertatih, kadang melesat. Ah….Dalam peristiwa jatuh, lalu kembali bangkit, selalu ada sosok guru yang turut berperan memompa semangat saya kembali. Tapi, karena postingan kali ini yang diminta adalah cerita sosok dosen, maka saya akan cerita tentang sosok beliau yang begitu menginspirasi. Mendiang dosen pembimbing Tugas Akhir saat menjalani S1 di Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Beliau adalah sosok dosen yang terkenal “killer”. Setidaknya, begitulah yang selalu diceritakan oleh para senior. Sebenarnya saya heran juga, kenapa sih para senior hobi banget membagi ketakutan? Namun justru karena itulah, saya penasaran dengan sosok-sosok yang sering dikabarkan sebagai “killer”. Maka, ketika tiba saatnya saya menulis Tugas Akhir, bisa memilih tema sendiri dan sekaligus memilih pembimbing sendiri, datanglah saya bersama seorang sahabat untuk memohon kesediaan beliau membimbing kami.
Beliau bersedia. Lalu sejak saat itu, selama beberapa bulan kami sangat intens bertemu dan berdiskusi. Beliau adalah sosok yang sangat teliti dan sungguh perfeksionis. Setitik saja salah di draft yang saya tulis, beliau tahu dan langsung mengkoreksi. Beliau juga sangat memperhatikan penulisan dan tata bahasa. Habis-habisan draft saya dipotong, dipangkas, diubah, ditambah, dan perubahan lainnya. Yah, harus diakui, benih kecintaan menulis disini juga tumbuhnya. Meski saat itu saya belum sadar bahwa ternyata saya bisa menulis.
Di luar urusan materi akademis, beliau saya kagumi karena integritas dan konsistensinya meyakini sesuatu. Soal membuang sampah misalnya, beliau tak segan mengantongi bungkus permen, atau sampah yang beliau hasilkan sendiri, sampai beliau bisa menemukan tempat sampah untuk membuangnya. Ckckckc….
Lalu hingga saya lulus S1, saya terheran-heran, dimana ya letak ke-“killer”-annya? Mengapa kita terlalu mudah menyematkan label “killer” kepada dosen atau guru kita? Padahal mungkin masalahnya hanyalah soal standar. Standar tertentu yang diterapkan oleh dosen ternyata tak mampu kita penuhi, lantas kita melabel dengan sebutan “killer”. Begitu mungkin yang sering terjadi. Sungguh sayang….
Mengapa sayang? Karena hingga saat ini saya berulangkali menemui sosok yang sebenarnya inspiring, namun terlanjur diberikan label “killer”. Sayang sekali jika kemudian, hanya akibat terlalu cepat memberi sebutan killer, kita menjadi tidak jernih memandang kebaikan, bahkan hal-hal inspiratif yang bisa kita ambil dari sosok tesebut. Itu sih kalau menurut saya.
Itu tadi cerita salah satu dosen killer yang inspiring. Saya akan menceritakan sosok-sosok lainnya insyaallah di buku solo saya berikutnya. Ngiklan maaaaak? Enggak, hanya memanfaatkan kesempatan aja. Haha….kabur ahhhh….
Catatan:
Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan dengan penggunaan kata “killer”, tiada maksud buruk, semata meminjam istilah yang umum digunakan.
Baca tulisan lainnya :
Momblogger, penulis buku, dosen, trainer dan pembicara publik. Tema-tema green, health, pola makan sehat, travelling, teknologi dan pendidikan adalah topik yang diminatinya.
Pelatihan yang sudah dan sedang dilakukan adalah teknik penulisan artikel untuk blog, artikel untuk media massa, penulisan buku dan untuk review produk. Pelatihan lain yang juga diadakan adalah cara melangsing. Semua jenis pelatihan tersebut dikolaborasikan dengan buku.
Informasi lengkap profil bisa dilihat di facebook , instagram saya atau https://www.widyantiyuliandari.com/about-me
Ini Arsetyo Bagastyo bukaaann?
Bukaaaaannnnn