BULIKE: Dari Rumah, Menuju Masyarakat Berbudaya Literasi

Share

Menulis, Jalan Meningkatkan Kualitas Diri Sekaligus Berbagi

Sejak tahun 2008 saya didorong untuk berani menulis oleh suami. Beliau meyakini bahwa menulis dapat menjadi jalan bagi saya untuk menyumbangkan ide-ide kepada masyarakat. Sebagai orang yang tidak lahir dari keluarga penulis, awalnya saya enggan. Beliau terus mendorong.

“Kalau menulis Tugas Akhir yang segini tebalnya saja Bunda bisa, masa enggak bisa menulis buku?”

Arundaya Taufiq

Didorong oleh semangat meningkatkan kualitas diri serta keinginan kuat untuk melakukan sesuatu bagi dunia literasi Indonesia, tahun itu juga saya mulai membuat naskah dan mengirimkan ke penerbit. Meski ternyata menerbitkan buku tak semudah yang saya pikir sebelumnya.

Buku solo pertama saya, upaya berkontribusi untuk dunia literasi

Perjuangan panjang akhirnya menemui hasil. Naskah ke sekian yang saya tulis selesai di tahun 2012 dan buku solo pertama saya terbit di tahun 2015. Ah… rasanya lega dan bangga. Setidaknya saya berkontribusi menyediakan bahan bacaan berkualitas bagi masyarakat Indonesia. Baca juga : Food Combining Pola Makan Sehat Enak dan Mudah.

“Kalau sudah menulis satu buku, nanti akan ketagihan”, demikian kata salah seorang mentor menulis saya. Eh, ternyata ada benarnya. Setahun kemudian lahir buku solo kedua. Tahun depannya lagi saya menghasilkan dua buku anak.

Salah satu buku antologi. Sinergi komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis dengan Kemendikbud.

Tahun 2018 tak ada buku solo, sebab saya sedang berjibaku menyelesaikan ‘buku’ bernama TESIS. Iya, walau usia makin merambat naik, saya masih sangat suka kembali ke kampus. Kekosongan buku solo saya bayar dengan lahirnya beberapa antologi di tahun 2018. Tahun ini, semoga naskah saya yang sedang lay out, bisa terbit. Satu buku solo setahun, lumayanlah. Baca juga : Buku Solo Kelima 99 Tanya Jawab Food Combining.

Blog, Bentuk Tanggung Jawab Literasi Digital Saya

Belum selesai urusan perbukuan yang masih menyisakan banyak PR, kita menghadapi tantangan selanjutnya. Zaman bergerak dan berubah begitu cepatnya. Kini zaman bergerak menjadi semakin digital.

Baik, di satu sisi. Saya amat merasakan manfaatnya. Betapa ilmu-ilmu yang tidak dapat saya raih melalui buku-buku yang masih terbatas, kini dapat dengan mudah saya peroleh hanya dengan ujung jari. Aneka kegiatan produktif dapat saya lakukan dengan kemajuan bernama internet. Internet membuat saya makin mudah belajar.

Tapi di sisi lain, masyarakat yang budaya membacanya saja belum matang, kini berhadapan dengan serbuan informasi yang masif melalui internet. Konten yang tentu saja tidak semua baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemudahan membuat dan mempublish konten digital membuat siapapun bisa memproduksi konten. Kominfo bahkan menyebutkan terdapat 800 ribu situs penyebar berita palsu dan ujaran kebencian. Banyak, tapi jika tidak mencerahkan, untuk apa? Alih-alih mencerdaskan yang ada justru masyarakat yang terjerumus dalam kegelapan.

Salah satu kemenangan dalam kompetisi blog. Salah satu upaya menghasilkan konten berkualitas yang menuai apresiasi.

Dalam kondisi seperti ini saya berharap, blog adalah salah satu hal yang bisa saya kontribusikan. Maka sejak tahun 2008, saya termasuk penulis yang berdiri di dua dunia. Satu kaki saya memijak dunia perbukuan, satu kaki lainnya berada di dunia blogging. “Tak fokus, membuat performamu buruk!” Ujar sebagian teman. Saya tak peduli. Bagi saya, tak semua orang dapat mengakses internet. Dan, tak semua orang cukup sabar untuk membaca buku.

Anak-anak juga tahu profesi Ibunda mereka sebagai blogger. Sejak dini mereka sudah melihat saya mengetik dan mengutak-atik blog. Tak jarang saya mengajak serta mereka ke acara-acara yang melibatkan blogger. Meski kini belum ada diantara mereka yang menunjukkan minat ke dunia blogging, saya yakin, semua yang telah saya kenalkan akan bermanfaat kelak.

Membangun Budaya Literasi Bersama-sama

Berkomunitas adalah sebuah kunci bagi saya untuk bisa mengoptimalkan kemampuan menulis. Sama merasakan komunitas adalah sebuah kompor. Nyalanya bisa membuat apapun di dekatnya menjadi hangat bahkan panas.

Saya merasa ‘dirawat’ dan ‘dibesarkan’ oleh sejumlah komunitas menulis dan blogger. Maka ketika pada tahun 2017 saya diberi amanah untuk menjadi leader Ibu-ibu Doyan Nulis, sebuah komunitas perempuan penghobi menulis yang beranggotakan 20.000 orang lebih, saya tak ingin menolak. Walau saat itu saya sedang disibukkan dengan studi master saya.

Saya memang belum menjadi penulis hebat, yang bukunya sudah berderet-deret di rak best seller. Tapi merawat komunitas, turut memfasilitasi perempuan-perempuan yang juga ingin memperoleh kemajuan dalam menulis, bagi saya itu amanah yang luar biasa membahagiakan.

Mengisi sebuah acara bersama komunitas menulis di Bondowoso atas undangan Perpustakaan Daerah, beberapa tahun lalu.

Saya bersyukur diberi kesempatan turut merawat IIDN, artinya saya bisa bersinergi dengan puluhan ribu perempuan yang memiliki cita-cita sama untuk dunia literasi: Menghasilkan tulisan lebih berkualitas!

Beberapa buku antologi karya Ibu-ibu Doyan Nulis, sungguh bahagia mengawal mereka menghasilkan bacaan yang baik bagi Indonesia.

Berbagai program kami jalankan di komunitas kami yang sederhana namun semarak. Mulai berbagai sharing gratis tentang tema-tema penulisan, membuat training berbayar, menjembatani member dengan agensi untuk dapat menulis dan menerbitkan buku, menulis dan menerbitkan buku antologi, dan masih banyak lainnya.

Anak-anak juga sudah terbiasa dengan aktivitas ibu mereka di komunitas. Sering saya berpamitan selepas memasak dan menemani mereka makan malam untuk mengisi sharing online di komunitas. Terkadang bahkan si anak penasaran, apa yang dibagikan ibunya di grup-grup facebook, WA, atau kadang telegram. Saya dengan senang hati menunjukkan kepada mereka materi-materi diskusi kami. Bahkan saya menawarkan kalau-kalau anak-anak berminat untuk saja ajarkan cara menulis.

Bersama-sama Bondowoso Writing Community, anak-anak juga biasa kami ajak berkegiatan.

Seringkali juga kami ajak anak-anak untuk urut hadir saat kopdar komunitas penulis lokal. Di usia cukup dini, anak-anak kami telah kenal dengan bedah buku, diskusi buku, dan acara-acara komunitas lainnya dalam hal literasi.

Begitulah budaya membaca dan menulis yang sedang kami rawat di keluarga kami. Prinsipnya tak muluk-muluk. Lakukan saja dan beri keteladanan. Libatkan anak sebanyak mungkin dalam setiap aktivitas literasi kedua orang tuanya. Ya, sesederhana itu. Tapi jika Ini dilakukan banyak keluarga, saya amat yakin Indonesia tak akan lagi disebut sebagai salah satu negara dengan kondisi literasi yang kurang menggembirakan.

Share

51 thoughts on “BULIKE: Dari Rumah, Menuju Masyarakat Berbudaya Literasi

  1. Lengkap banget bahasannya, anakku juga sekarang ikut-ikutan nulis diary kegiatan hariannya, terutama kalau habis bepergian, mirip travel blogger, tapi nulisnya masih di buku

    1. Wah salut sekali dengan bapak Mbak Wid yang menyediakan buku buku dan majalah sejak Mbak Wid masih kecil ya. Aku dulu juga pengunjung setia perpustakaan. Dari SD, SMP, SMA sampai kuliah. Kecintaan membaca memang dimulai dari kecil ya Mbak. Salut sama si bungsu yang melalap semua buku. Bahkan perpus daerah ya Mbak.

  2. Jadi kena sentilan saat membaca artikel ini 🙂 kalau diingat-ingat sudah lama sekali saya ga baca buku, bahkan koleksi novel sudah mulai berdebu karena ga di tengok…
    Mulai budayakan membaca juga ah, sekalian beri contoh ke anak, kalau membaca itu menyenangkan dan bisa jadi sumber ilmu

    1. perpustakaan kota kami adalah tempat yg paling sering saya dan si kecil jadikan tujuan wisata, bermain, belajar, bergembira. Kalau saya lagi bingung, nanya si kecil :”enaknya jalan-jalan ke mana ya kita hari ini, pasti jawabnya: perpus dong.” hehehe

    2. Literasi kita memang rendah. Saya menilai diri sendiri di keluarga kami. Biasanya satu bulan minimal ada satu buku yang saya baca, sekarang malah gak ada sama sekali. Kalah sama kegiatan online dan digital. Tapi setidaknya masih terhibur dengan aktifitas menulis blog.

  3. Setujuuuu! Mau anak doyan baca ya ortunya beri contoh. Dari bayi diajak read aloud itu ngefek banget lho. Meski si anak udah bisa baca, kadang tetap bacain buat bonding juga

  4. Mbaaaak widddd ♥️♥️♥️ masya Allah keren sekaliii mbakku satu ini. Barakallah mbaak semoga apa yang dibagikan lewat tulisan yg begitu inspiratif ini memberikan banyak kebaikan lagi kedepannyaa. Terus semangat berbagi inspirasi di dunia literasi ya mbak ♥️

    Aku pribadi juga bersyukur banget punya ayah dan kakek yang gemar baca dan selalu memberikan support guna mendapatkan bacaan yg bagus dan berkualitas, semoga calon suami nanti juga begitu. Aamiin 😅 kok jd curhat disni ya hahaha

    Sukses selaluu mbakku ♥️ semogaa bisa meetup yaa someday, aku lg d surabaya ini skrng hehehe

    1. Dirimu juga kereeeeen. Apalagi ada pengalaman sekolah ke luar Indonesia juga. Itu bisa ditulis dan bakal sangat menginspirasi. Semoga dapat suami yg juga suka buku. haha…Aamiin. Aku ada rencana mengisi Writing Clinic di Surabaya.

    2. Setuju banget mbak, budaya melek dan cinta literasi itu harus dimulai dari rumah. Org tua memegang peran penting di sini.
      Btw pembahasannya lengkap banget selalu keren tulisan buketu

  5. Setelah baca ini aku jadi inget proyek nulis buku traveling yang belum selesai. Thank u mba sudah jadi kompor penyemangat wkwkkw

  6. Halo, Mbak Widya…
    Salam kenal sebelumnya,

    Berkunjung ke artikel ini mengingatkan aku yang masih malas-malasan mengerjakan deadline padahal Mbak Widya kesibukannya melebihi aku. Tidak peduli sudah atau belum menikah, literasi memang sangat diperlukan sehari-hari dengan membaca beragam buku yang tak hanya banyak tapi juga berkualitas agar kemampuan berpikir kita dapat terasah dengan baik.

  7. Bener banget mbak, memupuk budaya literasi itu memang harus dimulai dari rumah.

    Pastinya orangtua menjadi teladan bagi anak.

    Keren sekali mbak wid, ya nulis buku ya ngeblog..

    Mantap 🙂

  8. Itulah kenapa saya suka belikan buku untuk anak. Rasanya senang liat anak bahagia dan bs berbagi bacaan bersama teman2nya. Bukan barang mewah tapi bangga memilikinya karena bs membudayakan suka baca buku

  9. Sedang berproses nih untuk menjadikan rumah punya budaya literasi terutama ke anak2.. budaya membaca besar banget manfaatnya buat anak2

  10. iya emang setiap anak itu unik, perlakuannya sama tapi hasilnya bisa aja berbeda. Anak pertama saya juga penggila buku, bahkan makan pun disambi baca buku. Anak kedua, suka baca juga, tapi tak “segila” kakaknya.

    Lengkap banget ulasannya, semoga menang lombanya ya mbak

  11. Masya Allah, Mbak … biarpun mengatakan dirimu tak hebat, di mata saya dan banyak orang, Mbak Wid adalah sosok luar biasa.

    Sehat selalu ya Mbak Wid agar selalu memotivasi di grup IIDN dan di mana pun :*

  12. Sepakat banget kalau membangun literasi ini diajarkan sejak dari rumah. Nemanin nak membaca, nemanin baca buku, beliin buku. Memang ini proses tapi sebagai orangtua, kita harus lakukan ini. Semangat, mba

  13. Memang betul mbak, membuat budaya literasi lekat di kehidupan berawal dari keluarga. Menumbuhkan kecintaan itu nggak mudah, pe-er sekali jadi orang tua agar anak-anak bisa melek literasi.
    Saya besar di rumah yang penuh dengan surat kabar, majalah dan buku-buku. Lambat laun, saya pun mencintai buku. Jodoh pun dengan laki-laki pecinta buku. ^^
    Sejak kecil, anak-anak suka saya ajak ke toko buku, membiarkan mereka memilih buku sendiri.
    Itu sih, cara-cara kecil saya menumbuhkan literasi di lingkup keluarga.
    Tulisannya lengkap banget mbak, semoga menang. ^^

  14. Aku percaya bahwa tidak banyak keluarga yang membiasakan anaknya untuk dibelikan buku, mbak. Macam buku tuh harganya lebih mahal dari pada baju. Karena di lingkungan sekitarku nemu aja gitu.Tapi,aku paling suka kalau beliin ponakan aku buku cerita gitu mbak, dia antusias banget, jadi yang beliinnya tambah semangat, ehehehe
    Aku jadi inget ada banyak bukuku yang belum kubaca nih, huhuuuu

  15. Masya Allah, mentorku yang satu ini memang hebat bener. Kereen!
    Idenya bisa ditiru ini, keknya akau kurang berusaha untuk meningkatkan minat baca anak-anakku. Tapi setuju, semua dimulai dari keluarga ya..Wah jadi makin semangat lebih peduli pada budaya literasi di rumah ini

  16. Minat membaca pada anak-anak sebenarnya memang tinggi
    Kendalanta ya itu, orang tua minat beli bukunya rendah. Atau mungkin bisa jadi, pendapatannya yang minim, jadi tidak ada sisa bagian buat beli buku. Gajinya pas untuk makan.
    Saya ada keinginan membuka taman baca mungil, eh terkendala dana buat sewa kios.
    disini lumayang mahal.
    Koleksi buku saya sebenarnya juga sudah lumayanlah.

  17. Minat baca anak di mulai dari rumah ya seharusnya, tapi kadang ada beberapa orang tua keberatan untuk membelikan buku anaknya. Masih ada cara lain sih kalau memang niat supaya anak gemar membaca. Semoga masayrakat Indoensia lebih meningkatkan lagi berbuday aliterasinya

    1. Membangun busaya literasi memang tidak bisa instan ya mba, harus dimulai dari keluarga. Dari orang tua lah anak-anak belajar untuk makin mencintai aktivitas membaca yang merupakan awalan kecintaan pada literasi.

  18. aku sudah masuk ke tahapan orang tua yang support membelikan buku bacaan anak mba cuman belum pernah ajakin anak-anak ke perpustakaan nih jadi pengen deh ajakin mereka beneran kasih ide nih buat aku baca ini

  19. Happy banget kalau lihat anak-anak sedari kecil sudah suka membaca dan pintar menuliskannya kembali. Entah itu dalam bahasanya sendiri atau persis seperti aslinya. Jadi literasi itu adalah sebuah proses memahami dan belajar.

    Btw,
    Kak Widya ITS Teknik Lingkungan angkatan berapakah?
    **hehehe…ini di luar topik yaa…soalnya sepupuku juga ada yang teknik Lingkungan ITS namanya Halimatussa’diyah.

  20. Setuju mba, ortunya harus suka baca dulu baru mengajak anaknya cinta buku, sama-sama membaca buku kesukaan di rumah ya jadi tak hanya menyuruh

    1. Keren…
      Saya sempat membuat Pojok Baca di teras depan toko, tapi sekarang vakum karena kendala tempat.
      Btw, buku “Food Combining” ini sukses bikin saya berpikir seratus kali buat makan bakso lho, hehe…
      Meski kadang hasrat makan-apa-saja tetap lepas kontrol, terutama saat liburan dan jalan2.

  21. Alhamdulillah keren mbak, saya juga lagi belajar untuk menerapkan literasi ke keluarga. Semoga bisa mengikuti jejak mbak, memiliki anak yang gila baca, dan bisa menelurkan buku-buku solo yang bergizi dan manfaat. Aamiin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!