Ketika mengunjungi Kampoeng Batja, sebuah tempat hangat penuh buku dan kegembiraan di salah satu gang sempit di Jember, saya dan suami berbincang hangat dengan Bapak Iman Suligi. Pendiri Kampoeng Batja yang di kalangan pegiat literasi akrab dipanggil ‘Kung’ ini sempat mengungkapkan pada kami, kurang lebih begini: Literasi masyarakat kita masih rendah. Kemampuan membaca apalagi memahami juga masih memprihatinkan. Bahkan di media sosial tak jarang terjadi ketegangan gara-gara tak paham dengan apa yang ditulis. Memahami lelucon terkadang justru dipahami secara serius, sehingga menimbulkan salah tafsir yang berujung masalah.
Saya dan suami setuju dengan yang dikatakan beliau. Apalagi juga diperparah dengan etika berinternet yang masih sama memprihatinkannya. Ribut-ribut karena hal yang sebenarnya tak penting atau hanya sekadar salah paham, kini menjadi hal yang sering terjadi. Sepulang kami dari sana, kami berdua (saya dan suami) terlibat banyak diskusi asyik tentang literasi. Sebagian kecil saya tulis di sini.
Apakah Sebenarnya Literasi itu?
Literasi tak hanya soal baca dan tulis. Jauh lebih luas dari itu. Bagaikan sebuah paket, literasi adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah literasi atau literatus, dalam bahasa Latin yang mengandung makna, orang yang belajar. Jadi memang tak sekadan membaca dan menulis. Akan tetapi juga mengandung kemampuan untuk memahami bacaan, menganalisis dan memanfaatkannya.
Pengertian literasi memang tak terhenti di aktivitas baca dan tulis saja, namu jauh lebih luas. Walau demikian, kemampuan membaca dan menulis adalah hal yang sangat mendasar.
Benarkah Literasi Kita Rendah?
Kita sering disuguhi data literasi yang memprihatinkan. Meski demikian, menurut saya, tak lantas seluruh data kita telan bulat-bulat. Menurut penelitian Perpustakaan Nasional tahun 2017, orang-orang Indonesia rata-rata hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi 30-59 menit (nasional.kompas.com).
Tapi benarkan tingkat literasi kita rendah? Saya mengamati di lingkungan terdekat saya. Beberapa tahun lalu, saat anak-anak kami masih kecil, ada seorang anak tetangga yang kerap bermain di rumah kami. Sangat betah bermain karena dia juga asyik sekali membaca buku-buku milik anak kami. Karena amat sulit diminta pulang, walau hari telah senja, saya merayunya. “Ayo pulang dulu, Nak. Bukunya besok bisa dibaca lagi. Atau, minta Mama membelikan, ya”.
Diluar dugaan, bocah cilik itu menjawab, “Mamaku enggak bakalan mau belikan, Tante”. Hari-hari selanjutnya memang saya amati, membelikan buku bacaan bukan sebuah budaya di masyarakat sekitar kami. Padahal kami tinggal di sebuah perumahan yang penghuninya terhitung cukup mampu. Sebagian besar ASN, berpendidikan setidaknya sarjana.
Ini hanya secuplik fakta. Hasil perbincangan dengan beberapa tetangga selanjutnya menyadarkan saya, bahwa kebiasaan membeli buku belum terbentuk. Keluarga yang memiliki anggaran untuk membeli buku, seperti kami, dipandang sebagai keluarga kaya. Cukup memprihatinkan juga. Ini masih di puau Jawa, bukan tempat terpencil. Bagaimana dengan lokasi-lokasi yang secara geografis lebih sulit dijangkau? Tanpa melihat data lain versi berbagai lembaga internasional, saya bisa merasakan. Literasi kita tidak sedang baik-baik saja.
Momblogger, penulis buku, dosen, trainer dan pembicara publik. Tema-tema green, health, pola makan sehat, travelling, teknologi dan pendidikan adalah topik yang diminatinya.
Pelatihan yang sudah dan sedang dilakukan adalah teknik penulisan artikel untuk blog, artikel untuk media massa, penulisan buku dan untuk review produk. Pelatihan lain yang juga diadakan adalah cara melangsing. Semua jenis pelatihan tersebut dikolaborasikan dengan buku.
Informasi lengkap profil bisa dilihat di facebook , instagram saya atau https://www.widyantiyuliandari.com/about-me